Dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, “Seorang ayah yang mendidik anak-anaknya adalah lebih baik daripada bersedekah sebesar 1 sa’ di jalan Allah.”
Nabi pun mencontohkan, bahkan ketika beliau sedang disibukkan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (atau kaum perempuan) untuk menjaga kedua cucunya yang masih kanak-kanak, Hasan dan Husain. Bagi Nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik, termasuk ketika beliau sedang shalat.
Saat ini banyak keluarga di Indonesia yang kehilangan figur ayah. Ayah sudah berangkat kerja saat pagi buta, ketika si kecil masih tidur. Ketika ayah pulang malam hari, sering kali anak sudah tertidur.
“Tak heran jika anak ditanya, 'Bagaimana ayahmu?', jawabnya, 'Auk, ah gelap'. Karena memang mereka hanya bertemu waktu gelap, saat dini hari dan tengah malam,” kata Bendri Jaisyurahman, salah satu penggagas Komunitas Sahabat Ayah.
Minimnya keterlibatan ayah dalam
pengasuhan membuat anak mengalami beberapa masalah psikologis. Di
antaranya, anak yang rendah harga dirinya, anak laki-laki yang cenderung
feminin dan anak perempuan yang cenderung tomboy, anak yang lambat
dalam mengambil keputusan, serta anak yang cenderung reaktif. Termasuk
juga, maraknya generasi alay.
Lalu bagaimana idealnya peran seorang
ayah dalam pendidikan anak? Menurut Bendri setidaknya ada 7 waktu yang
perlu diluangkan ayah untuk anaknya.
1. Pagi hari
Ayah bisa memulai dengan membangunkan anak. Luangkan 5 menit untuk bermain atau mendengar cerita anak mengenai mimpinya.
2. Siang hari
Luangkan 5 menit saja untuk menelepon
anak di siang hari. Mulailah dengan cerita ringan mengenai aktivitas
ayah di kantor dan pancing anak untuk bercerita mengenai kegiatannya
hari itu.
3. Malam hari
Sediakan waktu untuk bermain serta
mendengar cerita anak mengenai aktivitasnya seharian. Beri komentar dan
arahkan anak secara positif. Malam hari merupakan waktu yang efektif
untuk menanamkan budi pekerti dan sikap-sikap yang baik.
4. Liburan
Saat hari libur, ayah bisa secara total
melakukan aktivitas bersama anak. Tidak harus pergi berlibur, bisa juga
dengan mencuci mobil bersama, memancing, pergi ke toko buku. Aktivitas
tersebut akan menciptakan ikatan yang kuat antara ayah dan anak.
5. Di kendaraan
Saat mengantar anak ke sekolah atau ke tempat lain, terutama jika menggunakan mobil, tersedia kesempatan untuk ngobrol dengan
buah hati. Selipkan nasihat, misalnya mengenai pentingnya berkendara
dengan santun, menghormati hak orang lain, mengikuti aturan lalu lintas,
dan lain-lain.
6. Saat anak sedih
Saat anak mengalami kesedihan, ia membutuhkan tempat untuk curhat dan
menyampaikan keresahan hatinya. Jika ayah mampu hadir dalam situasi
ini, anak tidak akan melabuhkan kepercayaan pada orang yang salah.
Karena pahlawan bagi anak adalah mereka yang ada di dekat mereka,
menghibur, mendukung dan menguatkan ketika mereka sedih dan mengalami
masalah.
7. Saat anak unjuk prestasi
Luangkan waktu untuk hadir saat anak
mengikuti lomba atau tampil di panggung. Kehadiran ayah dan ibu dalam
momen itu merupakan bentuk pengakuan akan kemampuan anak. Tepuk tangan,
foto, dan rekaman yang dibuat ayah atau ibu akan menjadi kenangan yang
terus mereka bawa hingga besar nanti.
Hal yang perlu diperhatikan, anak tidak hanya butuh ayah, namun juga ibu. Sebagaimana pepatah Arab, al-umm madrasatun,
ibu adalah sekolah bagi anak. Maka, ayah kepala sekolahnya. Ayahlah
yang bertanggung jawab agar 'sekolah' tersebut berjalan dengan baik
dengan menyediakan sarana dan prasarana, mengambil peran, serta membuat
instrumen evaluasi. Sedangkan ibu menjadi sumber ilmu, hikmah, dan
inspirasi bagi anak dalam proses tumbuh dan berkembang.
Jika masing-masing fungsi tersebut tidak
dijalankan dengan baik, pengasuhan anak akan menjadi 'pincang'.
Minimnya keterlibatan ayah, membuat anak cenderung penakut dan lambat
mengambil keputusan. Sementara jika peran ibu yang hilang dalam rumah
tangga, anak cenderung mengedepankan logika, tapi tidak memiliki
kepekaan.